Sebagai seorang pembelajar, rasa-rasanya tidak asinglah kita dengan jargon ‘undzur maa qoola wa laa tandzur manqoola‘ yang artinya lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan. Saya mendengar ini ketika dulu di pesantren, saat itu ketika seorang ustadz – dimana dalam hal ini beliau adalah senior dan juga sebagai pembelajar, bukan pengajar – memberikan tausiyah guna menanamkan sikap kepatuhan adik-adik atau katakanlah santri baru waktu itu, termasuk saya diantaranya.
Setelah jargon tersebut diucapkan, kemudian dijelaskan oleh beliau yang kira-kira demikianlah isinya: Bahwa dalam setiap kita mendengar pembicaraan ataupun ucapan, jangan memperhatikan orang yang berbicara tapi perhatikan apa yang dibicarakan. Bila perkataannya baik, bernuansa nasehat harus didengarkan dan perlu dilaksanakan sekalipun yang mengatakan itu bajingan ataupun preman. Begitu pula sebaliknya, bila yang diucapkan adalah nada-nada hasutan untuk berbuat mungkar dan kebatilan, hendaknya kita abaikan sekalipun presiden atau kiai yang menyampaikan, demikianlah kira-kira yang beliau sampaikan waktu itu.
Berkaitan dengan hal di atas, tadi saya membaca dua artikel yang berkaitan diantara kedua artikel tersebut, setidaknya hal ini pendapat saya. Dan tentu saya yang mengatakan berkaitan ini bisa jadi salah, sebab saya masihlah sebagai manusia biasa yang banyak khilaf. 🙂
Pertama artikelnya mbak Titi Alfa Khairia, dimana pada tulisan beliau ada kaitannya dengan jargon yang saya tulis dan jadikan judul tulisan ini. Dimana, dari yang beliau tulis disana memberikan pelajaran dari peristiwa yang telah dialami serta penuturan beliau terhadap bagaimana menejemen di maskapai Air Asia yang sarat akan pembelajaran berharga bagi kita, terlebih saya sendiri.
Kedua artikelnya Om NH18 yang dalam tulisannya itu beliau bercerita tentang kemampuan orang-orang minang dalam bersosialisasi sehingga dikenal sebagai orang-orang yang memiliki ilmu keperantauan yang baik. Satu hal lagi dari orang minang, kata beliau. Orang minang itu juga pintar menggunakan peribahasa dalam setiap kali atau kesempatan berbicara, dimana hal itu memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam pembentukan karakter bersosialisasi. Dimana orang yang sering membumbui pembicaraannya dengan ungkapan-ungkapan magic ala peribahasa seringkali mendapat priorotas lebih dengan cara lebih dihormat.
Demikianlah sekilas yang dapat saya simpulkan dari hasil membaca dua artikel ini, saya mohon maaf kepada yang telah memiliki tulisan asli bila ternyata yang saya sampaikan diatas tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang menulis, sebab dalam hal ini saya hanyalah orang yang sok tahu mungkin padahal masih terlalu dangkal kemampuan untuk menyerap suatu kilasan dari suatu persoalan. Dari saya, salam silaturrahim untuk mbak Titi Alfa Khairia dan Om NH18 dan mohon maaf atas kelancangan saya karena telah menulis dari hasil tulisan sampean berdua. Numpang ide ceritanya.. 😀
Selanjutnya saya hendak mencoba memberi titik terang antara artikel tamu (sebutan untuk artikel mbak Titi Alfa Khairia dan Om NH18) dan jargon pada tulisan ini. Disebutkan tadi bahwa hendaknya kita melihat apa yang dikatakan. Nah, disini kita lihat ada pembelajaran baik dari suatu peristiwa yang sederhana dan lumrah terjadi. Seperti dalam tulisan mbak Titi Alfa Khairia misalkan, disana ada peristiwa keterlambatan yang mengantarkan pesan berharga bagi kita untuk dijadikan pelajaran, setidaknya kita jadi teringatkan untuk lebih disiplin. Kemudian dari tulisan Om NH18 juga, beliau menceritakan tentang peristiwa perkumpulan orang-orang minang dalam perantauan, sekilas peristiwa ini terkesan sederhana dan lumrah rasanya, sebab sudah seringkali kita temukan hal yang serupa. Namun disini kita temukan pesan berharga juga, dimana ada pendidikan secara tidak disengaja, yakni ketika ada anggota dari perkumpulan yang sudah sukses berbagi pengalaman kepada yang baru saja memulai, demikian juga sebaliknya yang baru merintis tidak segan mempertanyakan berbagai hal yang hendak ingin diketahuinya.
Alhamdulillah, memang benar undzur maa qoola, yang dalam hal ini tidak hanya apa yang diucapkan manusia, namun terlebih dari apa yang disampaikan oleh peristiwa-peristiwa sederhana yang menghampiri kita dalam setiap kesempatan. Bolehlah itu musibah yang terjadi, namun bila ia menyampaikan pesan baik untuk kita, apakah kita tidak akan memperhatikan?
Yah, demikianlah untuk sementara. Catat dan ingat itu baik-baik, Djie!!
titialfakhairia said:
Wah.. Makasih Mas Djie, udah mengulas artikelku, salam silaturahim 🙂
SukaSuka
Mas Djie said:
Salam silaturrahim juga,, maaf ya mbak sudah lancang…
SukaSuka
jampang said:
ulasan isinya mantap.
cuma mungkin adakalahnya ungkapan undzur maa qoola wa laa tandzur manqoola tidak bisa diterapkan. contohnya dalam ilmu hadits. betapa banyak isi hadits… atau ucapannya baik, tetapi tertolak dan dianggap hadits yang palsu dan dhaif karena adanya kekurangan dari orang-orang yang meriwayatkannya
SukaSuka
Mas Djie said:
Hadits dhoif itu tidak semuanya tidak berguna, bila hal itu adalah hadits yang mendorong agar seseorang berbuat baik boleh diikuti. Selanjutnya, sekerdar berbagi nih, ada ulama’ namanya Imam Jalaluddin As-Suyuthy. Beliau salah seorang penulis kitab hadits dari salah satu perawi hadits. Secara ilmu pengetahuan, ada beberapa hadits yang dinilai lemah sebab ada sanad yang kuang kuat karena ada salah satu perwinya yang kurang terpercaya. Namun dalam sebuah kisahnya, ketika Imam Jalaluddin As Suyuthy telah merampungkan tulisan kitabnya, beliau bermimpi rasulullah dan dalam mimpinya beliau bertanya kepada Rasulullah apakah benar semua yang ada dalam kitab itu pernah diucapkan oleh beliau? Maka Rasul menjawab, “Iya benar, itu semua adalah perkataanku”. Nah, berdasarkan kisah ini, bukankah kitabnya Jalaluddin As Suyuthi tidak diragukan lagi keshohehannya? Sebab sudah dapat ijazah langsung dari Rasulullah.. 🙂
SukaSuka
jampang said:
kalau masalah hadits dhaif memang ada pendapat yang bisa digunakan sebagai fadhailul amal. yang saya maksud sesuai dengan judul tulisan ini adalah…. ketika seorang perawi memiliki kelemahan, maka haditsnya menjadi dhaif, munkar, atau maudhu. meskipun kalimat-kalimatnya bersifat baik. jadi kaidah di atas adakalanya tidak berlaku. begitu maksudnya
SukaSuka
Mas Djie said:
Nah, disini yang punya pemikiran yang harus sigap. Qoul tersebut adalah sebatas jargon, atau katakanlah pribahasa yang telah diucapkan oleh Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Jadi jargon ini tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga berlalu atau tidaknya terserah bagaimana kita menempatkannya sesuai dengan bidang persoalan. Lagi pula kan begini kang, rasa-rasanya tidak ada ya sesuatu itu yang bisa diterapkan dalam berbagai hal. Pasti harus sesuai dengan porsinya, tidak terkecuali dengan kalimat yang diucapkan oleh Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ini 🙂
SukaSuka
rianamaku said:
lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan aku juga suka merangkum tiap apa yang di katakan orang sebagai penyemang…
SukaSuka
Mas Djie said:
Sangat positif… 🙂
SukaSuka
A. A. Muizz said:
Jadi ingat saya pernah meracau di http://butirbutirhujan.tumblr.com/tagged/Racauan. Hehehe. Terkadang saya terlalu sombong untuk menerima kebenaran. Astaghfirullah.
SukaSuka
Mas Djie said:
Terima kasih udah berbagi… 🙂
Janan sampek terlalu sombongnya, sedikit sombong aja gak boleh… 😀 hehe
SukaSuka