Malam ini, entah mengapa saya teringat akan suatu persoalan. Persoalan yang amat lumrah terjadi, namun benar-benar sakral rasanya untuk sekedar dibicarakan tanpa perenungan akan sebuah makna dalam hidup yang kita lalui dan hendak di langkahi. Iya benar, itulah kematian.

Hidup ini, adalah satu sisi dari sebuah hal yang berpasangan. Rasanya belum sempurna keberadaan hidup itu sendiri tanpa adanya kematian. Oleh sebab itu, pantaslah kiranya kita yang masih diperkenankan merasakan segala anugerah dalam paket kesempatan hidup ini untuk berpikir lebih cermat tentang har-hari dan waktu yang datang dan pergi mengiringi rutinitas yang mengalir begitu adanya.

Hidup tiada arti tanpa adanya rihlah batin menuju titik di balik suasana kehidupan, itulah kematian. Kematian memang berbeda dengan kehidupan, ia berada di balik segala yang kita rasakan saat ini, namun kematian tidak dapat kita lepaskan dari apa yang dapat kita rasa dan ketahui saat ini. Sebab segala yang ada dalam hidup ini hendak dipertanggungjawabkan kelak dalam ruang kematian yang kita kenal sebagai akhirat.

Kematian adalah suatu hal yang, atau katakanlah itu sebagai ritual wajib bagi setiap yang bernyawa. Sebagaimana firmanNya, kullu nafsin dzaa iqotul mauut. Saya katakan wajib karena memang hal ini harus terjadi dan harus dialami oleh semua yang bernyawa, dan mustahil ada salah satu apalagi beberapa diantaranya yang luput darinya, sekalipun ia Izrail yang sebagai malaikat maut pun tak akan pernah luput dari yang namanya kematian.

Mengingat akan hal ini, pernahkah kita bertanya kepada diri – terutama saya sendiri – tentang kesiapan untuk menemui kematian? Bukankah kita sudah fahan bahwa kematian itu datangnya secara tiba-tiba? Lalu seberapa cemaskah kita memikirkannya dibandingkan dengan memikirkan kesibukan-kesibukan duniawi?

Djie, bagaimana dengan dirimu?